Jakarta, 9 November 2025 — Dunia maya kembali dihebohkan oleh kasus yang menyeret nama besar YouTuber Indonesia, Nessie Judge. Kali ini, sang kreator konten yang dikenal lewat seri misterinya, Nerror, harus menghadapi kritik tajam setelah menggunakan foto Junko Furuta, korban nyata kasus pembunuhan brutal di Jepang tahun 1988, sebagai bagian dari dekorasi video terbarunya.
Kasus ini bukan sekadar soal kesalahan visual di video, melainkan menyentuh ranah etika, empati terhadap korban kejahatan, serta sensitivitas lintas budaya yang membuat publik Indonesia dan Jepang sama-sama bereaksi keras.
Awal Mula Kontroversi
Kontroversi bermula ketika Nessie Judge mengunggah video hasil kolaborasi bersama grup NCT Dream di kanal YouTube-nya. Dalam video tersebut, tampak foto Junko Furuta terpampang jelas di latar studio. Foto itu, yang awalnya dimaksudkan sebagai bagian dari elemen misteri, justru menjadi sumber masalah besar.
Netizen yang menyadari foto tersebut langsung menyorot bahwa Junko Furuta bukanlah tokoh fiksi, melainkan korban nyata kejahatan sadis di Jepang. Komentar dan kecaman pun berdatangan, menilai penggunaan foto itu sebagai bentuk ketidakpekaan terhadap penderitaan korban dan keluarganya.
Gelombang kritik cepat meluas ke media sosial Jepang. Banyak warganet Jepang menilai tindakan itu sebagai bentuk “penggunaan penderitaan korban untuk hiburan”, dan bahkan beberapa media lokal Jepang turut menyorot kasus ini.
Siapa Junko Furuta?
Untuk memahami mengapa reaksi publik begitu keras, perlu diketahui siapa sosok Junko Furuta sebenarnya.
Junko Furuta adalah siswi SMA berusia 17 tahun asal Prefektur Saitama, Jepang, yang menjadi korban dari salah satu kasus pembunuhan paling mengerikan dalam sejarah modern Jepang. Pada November 1988, ia diculik oleh empat remaja laki-laki, kemudian disekap selama 44 hari, mengalami penyiksaan fisik, pemerkosaan berulang, dan kekerasan ekstrem, sebelum akhirnya tewas.
Kasus ini mengguncang Jepang dan dunia karena tingkat kekejaman yang di luar nalar manusia. Foto Junko sering muncul dalam dokumentasi kriminal atau artikel investigasi, namun dianggap tidak pantas digunakan di konteks hiburan karena mewakili tragedi kemanusiaan yang sesungguhnya.
Reaksi Publik dan Permintaan Maaf Nessie Judge
Setelah kritik semakin membesar, Nessie Judge akhirnya menurunkan video tersebut dan pada 7 November 2025 merilis video permintaan maaf resmi di kanal YouTube-nya.
Dalam pernyataan berdurasi beberapa menit itu, Nessie mengaku bersalah dan menyadari kelalaiannya dalam melakukan pengecekan konten sebelum dirilis. Ia menegaskan tidak ada niat untuk mengeksploitasi tragedi, namun mengakui bahwa tindakannya telah melukai banyak pihak.
“Saya ingin menyampaikan permintaan maaf yang sebesar-besarnya atas apa yang muncul di video saya baru-baru ini dan juga atas tanggapan saya setelahnya,” ujar Nessie.
“Kesalahan ini terjadi karena kelalaian pengawasan dari saya. Menggunakan foto korban nyata dalam konteks seperti itu bukanlah cara yang tepat. Itu justru menimbulkan lebih banyak rasa sakit daripada penghormatan.”
Nessie juga menambahkan bahwa ia merasa gagal menunjukkan empati dan rasa hormat terhadap korban dan pihak-pihak yang terdampak.
Video permintaan maaf itu telah ditonton lebih dari 370 ribu kali hingga Minggu siang, 9 November 2025, dan mendapat ribuan komentar dari netizen Indonesia serta Jepang. Sebagian publik menghargai kejujuran Nessie, sementara lainnya menilai kesalahan itu tidak seharusnya terjadi sejak awal, mengingat posisinya sebagai kreator berpengalaman.
Dampak dan Pelajaran dari Kasus Ini
Kasus ini menjadi refleksi penting bagi industri kreator digital. Di era di mana batas antara konten hiburan dan isu nyata semakin kabur, sensitivitas terhadap konteks budaya dan etika menjadi hal yang tak bisa ditawar.
Kesalahan Nessie Judge memperlihatkan bahwa riset dan empati adalah elemen vital dalam pembuatan konten, terlebih jika menyentuh tema kriminal atau tragedi manusia nyata.
Meski telah meminta maaf, kasus ini masih menjadi bahan diskusi di komunitas YouTube dan media sosial, baik di Indonesia maupun luar negeri. Banyak pihak berharap insiden ini bisa menjadi pengingat bagi para pembuat konten untuk mengutamakan etika dan tanggung jawab sosial, agar kreativitas tidak berubah menjadi pelanggaran moral.
